JALAN KEBAHAGIAAN Part 2

PENGETAHUAN TENTANG TUHAN

Sebuah hadits Nabi  (SAW) yang terkenal berbunyi "Dia yang mengenal dirinya,  mengenal  Allah."  Artinya,  dengan  merenungkan  wujud dan sifat-sifatnya, manusia sampai pada sebagian pengetahuan tentang Tuhan. Tetapi karena banyak orang yang merenungkan dirinya tidak juga menemui Tuhan, berarti bahwa tentulah ada cara-cara tersendiri untuk melakukan hal tersebut. Kenyataannya, ada dua metode untuk bisa sampai pada pengetahuan ini. Salah satu di antaranya sedemikian musykil sehingga tidak bisa dicerna dengan kecerdasan biasa dan karenanya lebih baik tidak dijelaskan.


Metode yang lain adalah sebagai berikut. Jika seorang manusia merenungkan dirinya, ia akan tahu bahwa sebelumnya ia tidak ada, sebagaimana tertulis di dalam al-Qur'an: "Tidakkah manusia tahu bahwa sebelumnya ia bukan apa-
apa?" Selanjutnya ia ketahui bahwa ia terbuat dari satu tetes air yang tidak mengandung intelek, pendengaran, kepala, tangan, kaki dan sebagainya. Dari sini  jelaslah  bahwa,  setinggi  apa  pun  tingkat  kesempurnaannya,  ia tidak
menciptakan  dirinya  dan  tidak  pula  ia  mampu  mencipta  seutas  rambut sekalipun.

Betapa sangat tak berdayanya ia pada waktu ia baru hanya berupa setetes air itu!  Jadi,  sebagaimana  telah  kita  lihat  pada  bab  pertama (Pengetahuan Tentang Diri), dia dapati pada wujudnya sendiri terpantulkan sebagai, katakanlah, suatu miniatur kekuasaan, kebijakan dan cinta Sang Pencipta. Jika semua orang pandai dari seluruh dunia dikumpulkan dan hidup mereka diperpanjang sampai waktu yang tidak terbatas, tidak akan bisa mereka hasilkan perbaikan apa pun atas bangun satu bagian saja dari jasad manusia. Misalnya, pada penyesuaian geligi depan dan samping pada pengunyahan makanan,  serta  pada  bangun  lidah,  kelenjar-kelenjar  air   liur   dan kerongkongan untuk penelanannya, kita dapati peralatan-peralatan yang tidak bisa  dibuat  lebih  baik  lagi.  Demikian  pula  seseorang yang merenungkan tangan dengan lima jari-jarinya yang tidak sama panjang empat di antaranya dengan tiga persendian dan jempol yang hanya mempunyai dua serta dengan cara bagaimana ia bisa dipergunakan untuk mencekal, menjinjing atau memukul, secara terus terang akan mengakui bahwa tidak akan mungkin kebijakan manusia bisa membuatnya lebih baik lagi dengan mengubah jumlah dan aturan jari-jari tersebut, atau dengan jalan lain apa pun.


Jika  seorang manusia lebih lanjut memikirkan bagaimana beragam keinginannya   akan makanan, penginapan dan lain sebagainya, pemenuhannya begitu banyak disodorkan dari gudang penciptaan, ia pun menjadi sadar bahwa rahmat Allah adalah sebesar kekuasaan dan kebijakan-
Nya, sebagaimaan Ia sendiri berkata: "Rahmat-Ku lebih luas dari kutukan-
Ku." Dan menurut hadits Nabi (SAW), allah lebih lembut penciptaan dirinya sendiri,  manusia  menjadi  tahu  akan  kemaujudan  Tuhan.  Dari  kerangka tubuhnya yang menakjubkan ia mengetahui kekuasaan dan kebijakkan Allah. Dan lewat karunia yang berlimpah untuk memenuhi berbagai kebutuhannya, ia  mengetahui kecintaan Allah. Dengan cara ini pengetahuan tentang diri menjadi kunci bagi pengetahuan tentang Allah.Bukan saja sifat-sifat manusia merupakan suatu pantulan sifat-sifat Tuhan,tetapi bentuk kemaujudan jiwa manusia pun menghasilkan suatu wawasan tentang bentuk kemaujudan Allah. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa Allah dan jiwa kedua-duanya tidak terbatasi oleh ruang dan waktu, serta berada di luar pengelompokan-pengelompokan jumlah dan kualitas. Demikian pula gagasan-gagasan tentang bentuk, warna atau ukuran tidak bisa pula dihubungkan  dengan  keduanya.  Orang  mengalami  kesulitan  untuk
membentuk suatu  konsepsi  tentang  hakikat  semacam  itu  yang  hampa kualitas,  jumlah, dan sebagainya, padahal kesulitan yang sama terkaitkan pula dengan konsepsi tentang perasaan kita sehari-hari, seperti marah, sakit,
senang atau cinta. Semuanya itu adalah konsep-konsep pikiran dan tidak bisa dimengerti  oleh  indera,  sementara  kualitas,  jumlah  dan  lain  sebagainya adalah konsep-konsep indera. Sebagaimana telinga tidak bisa mengenali
warna, tidak pula mata bisa mengenali suara; dalam ketidakmampuan kita membayangkan hakikat-hakikat puncak, yaitu Allah dan ruh, kita dapati diri kita berada di dalam suatu wilayah di mana konsep-konsep indera tidak bisa
ambil bagian. Meskipun demikian, sebagaimana bisa kita lihat, Allah adalah pengatur jagat dan Ia yang berada di luar ruang dan waktu, kuantitas dan kualitas mengatur apa-apa yang sedemikian terkondisikan. Begitu pulalah ruh mengatur jasad dan anggota-anggotanya dalam keadaan ia sendiri tidak kasat-mata, tidak terbagi-bagi dan tidak tertempatkan di suatu bagian khusus manapun. Karena, bagaimana bisa sesuatu yang tidak terbagi-bagi tertempatkan di dalam sesuatu yang bisa tergagi-bagi. Dari semuanya ini bisa kita lihat betapa benarnya hadits Nabi (SAW): "Allah menciptakan manusia di dalam kemiripan dengan diri-Nya sendiri."

Dan setelah kita sampai pada sebagian pengetahuan tentang esensi dari sifat-sifat Allah lewat perenungan akan esensi dan sifat-sifat ruh, maka akan bisa kita pahami metode kerja, pengaturan dan pendelegasian kekuasaan Allah kepada kekuatan-kekuatan kemalaikatan dan sebagainya, yaitu dengan jalan mengamati bagaimana masing-masing kita mengatur kerajaan-kerajaan kecilnya sendiri. Sebagai contoh sederhana, misalkan seorang manusia ingin menulis nama Allah. Pertama sekali keinginan ini terbetik di dalam hati, baru kemudian dibawa ke otak oleh ruh-ruh vital. Bentuk kata "Allah" tergambar di dalam relung-relung otak, kemudian berjalan sepanjang saluran syaraf dan menggerakkan jari-jari yang pada gilirannya menggerakkan pena. Dengan demikian  nama  "Allah"  terguratkan  di  atas  kertas  tepat  sebagaimana dibayangkan  di  dalam  otak  penulisnya.  Demikian  pula,  jika  Allah menghendaki sesuatu, maka sesuatu itu tampil di dalam dataran ruhaniah yang  di  dalam  al-Qur'an  disebut  sebagai  "Singgasana" (al-'arsy).  Dari singgasana itu ia berlalu lewat suatu arus spiritual ke arah suatu dataran yang lebih rendah yang disebut kursi (al-kursiy), kemudian bentuknya tampil dalam al-lauh  'al-mahfuzh  yang,  dengan  perantaraan  kekuatan-kekuatan  yang disebut sebagai "malaikat-malaikat", mewujud dan tampil di atas bumi dalam bentuk  tetanaman,  pepohonan  dan  hewan-hewan,  sebagai  pencerminan keinginan  dan  pikiran  Allah,  sebagaimana  huruf-huruf  yang  tertulis mencerminkan keinginan yang terbetik di dalam hati dan bentuk yang hadir di dalam otak sang penulis.

Tidak seorang pun bisa memahami seorang raja kecuali seorang raja. Karena itu Tuhan telah menjadikan masing-masing kita sebagai, katakanlah, seorang raja  dalam  miniatur,  atas  suatu  kerajaan  yang  merupakan  tiruan  dari kerajaan-Nya yang telah disusutkan secara tidak terbatas. Di dalam kerajaan manusia, singgasana Allah dicerminkan oleh ruh, malaikat (Jibril) oleh hati, kursy oleh otak dan lauhul-mahfuzh oleh ruang-gudang pikiran. Jiwa yang ia sendiri tak tertempatkan dan tak terbagi-bagi  mengatur jasad sebagaimana Allah mengatur jagad. Pendeknya, kepada kita diamanatkan suatu kerajaan kecil, dan kita diwajibkan untuk tidak ceroboh dalam mengaturnya.

Mengenai pengenalan tentang bagaimana Allah memelihara, ada banyak tingkatan  pengetahuan.  Ahli  fisika  biasa,  seperti  seekor  semut  yang merangkak di atas selembar kertas dan mengamati huruf-huruf hitam yang tersebar di atasnya, akan menunjukkan "sebab" hanya kepada pena saja. Seorang astronom, seperti seekor semut dengan pandangan agak lebih luas, bisa melihat jari-jari yang menggerakkan pena. Maksudnya, ia mengetahui bahwa bintang-bintang berada di bawah kekuasaan malaikat-malaikat. Jadi, sehubungan dengan berbagai tingkat persepsi orang, perdebatan mesti timbul dalam melacak sebab dari akibat. Orang-orang yang matanya tidak pernah melihat  ke  balik  dunia-gejala,  adalah  seperti  orang-orang  yang  salah menempatkan hamba-hamba dari tingkatan yang paling rendah ke tingkatan raja. Hukum-hukum tentang gejala mesti tetap atau, jika tidak, tak akan ada sains dan sebagainya; tetapi untuk menempatkan hamba-hamba sebagai majikan adalah suatu kesalahan besar.


Selama perbedaan di dalam fakultas perseptif para pengamat ini masih ada, perdebatan memang mesti perlu berlanjut. Bagaikan beberapa orang buta yang mendengar bahwa seekor gajah telah datang ke kotanya, lantas pergi menyelidikinya.  Pengetahuan  yang  bisa  mereka  peroleh  hanyalah  lewat indera perasaan, sehingga ketika seorang memegang kaki sang binatang, yang satu lagi memegang gadingnya dan yang lain telinganya, dan, sesuai dengan persepsi mereka masing-masing, mereka menyatakannya sebagai suatu batangan, suatu tabung yang tebal dan suatu lapisan kapas, masing-masing mengambil sebagian untuk menyatakan keseluruhannya. Jadi, sang ahli fisika dan astronomi mengacaukan hukum-hukum yang mereka tangkap dengan Sang Penetap hukum-hukum. Kesalahan yang sama dilemparkan kepada Ibrahim di dalam al-Qur'an yang meriwayatkan bahwa ia berturut-turut berpaling kepada bintang-bintahg, bulan dan matahari sebagai obyek-obyek penyembahan, sampai kemudian menjadi sadar tentang Dia yang membuat segala sesuatu, Ibrahim pun berseru: "Saya tidak menyukai segala sesuatu yang terbenam." (QS 6:76).


Kita memiliki sebuah contoh yang sudah umum tentang pengacuan kepada sebab-sebab kedua apa-apa yang seharusnya diacu kepada Sebab Pertama, yaitu  dalam persoalan apa yang disebut sebagai penyakit. Misalnya jika seseorang kehilangan rasa tertariknya pada urusan duniawi, memiliki rasa benci  terhadap  kesenangan-kesenangan  umum,  dan  tampak  tenggelam dalam  depresi,  dokter  akan  berkata:  "Ini adalah kasus melankoli yang membutuhkan resep ini dan itu." Seorang ahli fisika akan berkata: "Ini adalah persoalan kekeringan otak yang disebabkan oleh cuaca panas dan tidak bisa disembuhkan sampai udara menjadi lembab kembali." Sang ahli astrologiakan mengaitkan hal ini dengan konjungsi atau oposisi tertentu planet-planet. "Sejauh jangkauan kebijakan mereka," kata al-Qur'an. Tidak terbayangkan oleh mereka bahwa yang sesungguhnya terjadi adalah seperti demikian: bahwa Yang Maha Kuasa berkehendak mengurus kesejahteraan orang itu, dan oleh karenanya telah memerintahkan hamba-hamba-Nya, yakni planet-planet atau unsur-unsur, agar menciptakan keadaan seperti itu di dalam diri orang tersebut, sehingga ia bisa berpaling dari dunia ke arah Penciptanya. Pengetahuan  tentang  kenyataan  ini  merupakan  suatu  mutiara  yang
berkilauan   dari   lautan   pengetahuan   keilhaman,   yang   dibandingkan dengannya, semua bentuk pengetahuan lain menjadi bagaikan pulau-pulau di tengah laut.

Dokter, ahli fisika dan ahli astrologi tersebut, tak salah lagi memang benar dalam cabang pengetahuan khususnya masing-masing, tetapi mereka tidak bisa melihat bahwa penyakit itu adalah, katakanlah, suatu tali cinta yang digunakan oleh Allah untuk menarik para wali mendekat kepada diri-Nya. Tentang para wali ini Allah berfirman: "Aku sakit dan kamu tidak menjengukKu." (ini hanya kiasan). Penyakit itu sendiri adalah salah satu di antara bentuk-bentuk pengalaman yang menjadi sarana bagi manusia untuk sampai pada pengetahuan tentang Allah, sebagaimana Ia lewat  mulut nabi-Nya (SAW):  "Penyakit-penyakit  itu  sendiri  adalah  hamba-hamba-Ku,  dan dikenakan atas pilihan-Ku."


Catatan-catatan di atas memungkinkan kita memasuki lebih dalam makna seruan-seruan  yang melekat di  bibir  orang-orang  mukmin:  "Subhanallah, alhamdulillah, la ilaha illallah, allahu akbar." Mengenai yang terakhir, kita bisa berkata bahwa hal itu tidaklah berarti bahwa Allah lebih besar dari penciptaan, karena  penciptaan  adalah  pengejawantahan-Nya,  sebagaimana  cahaya adalah pengejawantahan matahari. Dan akan tidak benar kalau dikatakan bahwa matahari lebih besar dari cahayanya sendiri. Hal itu lebih berarti bahwa kebesaran Allah sama sekali melampaui kemampuan kognitif dan bahwa kita hanya bisa membentuk suatu gagasan yang amat kabur dan tidak sempurna tentang-Nya. Jika seorang anak meminta kita untuk menerangkan padanya kesenangan-kesenangan yang ada di dalam pemilikan kedaulatan, kita bisa berkata bahwa hal itu adalah seperti kesenangan-kesenangan yang ia rasakan di dalam bermain-main dengan alat pemukul dan bola, meskipun pada hakikatnya keduanya tidak memiliki sesuatu yang sama kecuali bahwa keduanya termasuk ke dalam katagori kesenangan. Jadi, seruan Allahu akbar berarti bahwa kebesaran-Nya jauh melampaui kemampuan pemahaman kita. Lagi  pula,  pengetahuan tentang Allah yang tidak sempurna seperti itu
sebagaimana yang bisa kita peroleh bukanlah sekadar suatu pengetahuan spekulatif belaka, tetapi mesti dibarengi dengan penyerahan dan ibadah. Jika seseorang meninggal dunia, dia berurusan hanya dengan Allah saja. Dan jika kita  harus  hidup  bersama  seseorang,  kebahagiaan  kita  sama  sekali tergantung pada tingkat kecintaan yang kita rasakan kepadanya. Cinta adalah benih kebahagiaan, dan cinta kepada Allah ditumbuhkan dan dikembangkan oleh ibadah. Ibadah dan zikir yang terus-menerus seperti itu mengisyaratkan suatu  tingkat  tertentu  dari  keprihatinan  dan  pengekangan  nafsu-nafsu badaniah. Hal ini tidak berarti bahwa seseorang diharapkan untuk sama sekali memusnahkan nafsu-nafsu badaniah itu, karena jika demikian halnya, maka ras  manusia  akan  musnah.  Tetapi  batasan-batasan  yang  ketat  mesti dikenakan pada usaha pemuasannya. Dan karena manusia bukan hakim yang terbaik  dalam  kasusnya sendiri,  maka untuk menetapkan batasan-
batasan apa yang harus dikenakan itu sebaiknya ia konsultasikan masalah tersebut kepada pembimbing-pembimbing ruhaniah. Pembimbing-
pembimbing ruhaniah seperti itu adalah para nabi. Hukum-hukum yang telah mereka tetapkan berdasar wahyu Tuhan menentukan batasan-batasan yang mesti ditaati dalam persoalan-persoalan ini. Orang yang melanggar batas-
batas ini berarti "telah menganiaya dirinya sendiri", sebagaimana tertulis di dalam al-Qur'an. Meskipun pernyataan al-Qur'an ini telah jelas, masih ada juga orang-orang yang, karena kejahilannya tentang Allah, melanggar batas-
batas tersebut. Kejahilan ini bisa disebabkan karena berbagai sebab.

Pertama, ada orang yang gagal menemukan Allah lewat pengamatan, lantas menyimpulkan bahwa Allah itu tidak ada dan bahwa dunia yang penuh keajaiban-keajaiban ini menciptakan dirinya sendiri atau ada dari keabadian. Mereka bagaikan seseorang yang melihat suatu huruf yang tertulis dengan indah kemudian menduga bahwa tulisan itu tertulis dengan sendirinya tanpa ada penulisnya, atau memang sudah selalu ada. Orang-orang dengan cara berpikir semacam ini sudah terlalu jauh tersesat sehingga berdebat dengan mereka akan sedikit sekali manfaatnya. Orang-orang seperti itu mirip seorang ahli fisika dan astronomi yang kita sebut di atas.

Kedua,  sejumlah  orang  yang,  akibat  kejahilan  tentang  sifat  jiwa  yang sebenarnya, menolak doktrin kehidupan akhirat, tempat manusia akan diminta pertanggungjawabannya  dan  diberi  balasan  baik  atau  dihukum.  Mereka anggap diri mereka sendiri sebagai tidak lebih baik daripada hewan-hewan atau sayur-sayuran, dan sama-sama bisa musnah.

Ketiga, di lain pihak, ada orang yang percaya pada Allah dan kehidupan akhirat, tapi hanya dengan iman yang lemah. Mereka berkata kepada diri mereka sendiri. "Allah itu Maha Besar dan tidak tergantung pada kita; kita beribadah atau tidak merupakan masalah yang sama sekali tidak penting bagi Dia."  Mereka  berpikir  seperti  orang  sakit  yang  ketika  oleh  dokter  diberi peraturan pengobatan tertentu kemudian berkata: "Yah, saya ikuti atau tidak, apa urusannya dengan dokter itu." Tentunya hal ini tidak berakibat apa-apa terhadap dokter tersebut, tetapi pasien itu bisa merusak dirinya sendiri akibat ketidaktaatannya. Sebagaimana pastinya penyakit jasad yang tak terobati berakhir  dengan  kematian  jasad,  begitu  pula  penyakit  jiwa  yang  tak tersembuhkan akan berakhir dengan kepedihan di masa datang. Sesuai dengan kata-kata al-Qur'an: "Orang-orang yang akan diselamatkan hanyalah yang datang kepada Allah dengan hati yang bersih."


Keempat, adalah orang-orang kafir  yang  berkata:  "Syariah  mengajarkan kepada kita untuk menahan amarah, nafsu dan kemunafikan. Hal ini jelas tidak mungkin dilaksanakan, mengingat manusia diciptakan dengan kualitas kualitas  bawaan  seperti  ini di dalam dirinya. Sama saja dengan kamu meminta agar kami jelmakan yang hitam menjadi putih." Orang-orang jahil itu sama sekali buta akan kenyataan bawha syariah tidak mengajarkan kita untuk mencerabut nafsu-nafsu ini, melainkan untuk meletakkan mereka di dalam batas-batasnya. Sehingga, dengan menghindar dari dosa-dosa besar, kita bisa mendapatkan ampunan atas dosa-dosa kita yang lebih kecil. Bahkan, Nabi saw. berkata: "Saya adalah manusia seperti kamu juga, dan marah seperti yang lain-lain." Dan di dalam al-Qur'an tertulis: "Allah mencintai orang-orang yang menahan amarahnya," bukan orang-orang yang tidak punya marah sama sekali.

Kelima, adalah kelompok yang menonjol-nonjolkan kemurahan Allah seraya mengabaikan keadilan-Nya, kemudian berkata kepada dirinya sendiri: "Ya, apa pun yang kita kerjakan, Allah Maha Pemaaf." Mereka tidak berpikir bahwa meskipun Allah itu bersifat pemaaf, beribu-ribu manusia hancur secara menyedihkan karena kelaparan dan penyakit. Mereka mengetahui bahwa siapa saja yang  menginginkan  suatu  kehidupan,  kemakmuran  atau kepintaran, tidak boleh sekadar berkata, "Tuhan Maha Pemaaf," tetapi mesti berusaha sendiri dengan keras. Meskipun al-Qur'an berkata: "Semua makhluk hidup  rizkinya  datang  dari  Allah,"  di  sana  tertulis  pula:  "Manusia  tidak mendapatkan sesuatu kecuali  dengan  berusaha."  Kenyataannya  adalah: ajaran semacam itu berasal dari setan, dan orang-orang seperti itu hanya berbicara dengan bibirnya, tidak dengan hatinya.

Keenam, adalah kelompok yang mengklaim sebagai telah mencapai suatu tingkat  kesucian  tertentu  sehingga  dosa  tidak  dapat  lagi  mempengaruhi mereka.  Meski demikian,  jika  anda  perlakukan  salah  seorang  di  antara mereka dengan tidak hormat, dia akan menaruh dendam terhadap anda selama bertahun-tahun.  Dan  jika  salah  seorang  di  antara  mereka  tidak mendapatkan sebutir makanan yang dia pikir merupakan haknya, seluruh dunia akan tampak gelap dan sempit baginya. Bahkan, jika ada di antara mereka benar-benar bisa menaklukkan nafsu-nafsunya, mereka tidak punya hak untuk membuat klaim semacam itu, mengingat para nabi - jenis manusia yang tertinggi terus-menerus mengakui dan meratapi dosa-dosa mereka. Beberapa  di  antara  mereka  mempunyai  dosa  yang  sedemikian  besar, sehingga mereka bahkan menjauhkan diri dari hal-hal yang halal. Pernah diriwayatkan dari Nabi saw. bahwa suatu hari ketika sebutir korma dibawa kepadanya, beliau tidak mau memakannya hanya lantaran tidak yakin bahwa korma  tersebut  diperoleh  secara  halal.  Sementara  orang-orang  yang berkehidupan bebas ini mau meneguk berliter-liter anggur dan mengklaim (saya menggigil pada saat menulis ini) sebagai lebih unggul dari Nabi yang kesuciannya  diancam  oleh  sebutir  kurma,  sementara  mereka  tidak terpengaruh oleh anggur sebanyak itu. Patutlah jika setan membenamkan mereka ke dalam kehancuran total. Orang-orang suci sejati  mengetahui bahwa orang yang tidak bisa menguasai nafsu-nafsunya tidak pantas disebut sebagai seorang manusia. Dan bahwa seorang muslim sejati adalah orang yang dengan senang hati mau mengakui batas-batas yang ditetapkan oleh syariah. Orang yang berupaya dengan dalih apa pun untuk mengabaikan kewajiban-kewajibannya,  sudah  jelas  berada  dalam  pengaruh  setan dan harus diajak berbicara tidak dengan sebatang pena, tapi dengan sebilah pedang. Para penganut mistik palsu semacam ini kadang-kadang berpurapura telah tenggelam di dalam lautan ketakjuban. Tetapi, jika anda bertanya kepada mereka tentang apa yang mereka takjubkan, mereka tidak tahu. Mereka mesti disuruh agar takjub semau mereka, tetapi pada saat yang sama agar mengingat bahwa Yang Maha Kuasa adalah penciptanya, dan bahwa mereka adalah abdi-abdi Nya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Science of Mantiq

Wibawa/Kewibawaan