JALAN KEBAHAGIAAN Part 4
PENGETAHUAN TENTANG AKHIRAT
Berkenaan dengan nikmat surgawi dan
siksaan-siksaan neraka yang akan mengikuti
kehidupan ini, semua orang yang percaya pada al-Qur'an dan Sunnah sudah cukup mengetahuinya. Tapi
ada suatu hal
yang sering terlewatkan oleh mereka,
yaitu bahwa ada juga suatu surga ruhaniah dan neraka
ruhaniah. Mengenai surga ruhaniah, Allah berfirman kepada NabiNya, "Mata
tidak melihat, tidak
pula telinga mendengarnya,
tak pernah pula terlintas dalam hati manusia
apa-apa yang disiapkan bagi orang-orang yang takwa."
Di dalam hati manusia yang tercerahkan ada sebuah jendela yang membuka
ke arah hakikat-hakikat dunia ruhaniah, sehingga ia mengetahui bukan dari kabar angin atau kepercayaan
tradisional, melainkan dengan pengalaman nyata - segala sesuatu yang
menyebabkan kerusakan ataupun kebahagiaan di
dalam jiwa, persis sama jelas dan tegasnya sebagaimana seorang
dokter mengetahui apa
yang menyebabkan penyakit
ataupun menyehatkan tubuh. Ia tahu bahwa pengetahuan tentang Allah dan
ibadah bersifat mengobati, dan bahwa kejahilan dan dosa adalah
racun-racun maut bagi jiwa. Banyak orang,
bahkan juga yang disebut sebagai ulama, karena mengikuti secara membuta
pendapat orang lain, tidak mempunyai keyakinan yang sesungguhnya dalam iman mereka berkenaan dengan kebahagiaan atau penderitaan jiwa di akhirat. Tetapi orang
yang mau mempelajari masalah ini
dengan pikiran yang
tak terkotori oleh
prasangka akan sampai
pada keyakinan yang jelas tentang
masalah ini.
Akibat kematian atas sifat gabungan (komposit) manusia adalah sebagai berikut.
Manusia punya dua jiwa, jiwa hewani dan jiwa ruhani. Jiwa ruhani ini bersifat malaikat. Tempat jiwa hewaniah adalah
dalam hati, tempat dari mana jiwa ini menyebar seperti uap halus dan
menyelusupi semua anggota tubuh, memberikan
tenaga atau kemampuan melihat pada mata, mendengar pada telinga, serta
kepada semua anggota tubuh memberikan kemampuan untuk menyelenggarakan
fungsi-fungsinya. Hal ini
bisa dibandingkan dengan sebuah lampu yang ditempatkan di dalam suatu pondok yang cahayanya jatuh pada dinding-dinding ke mana pun ia pergi.
Hati adalah sumbu lampu ini, dan jika
penyaluran minyaknya diputus karena suatu alasan, maka matilah lampu itu. Seperti itulah kematian jiwa hewani.
Tidak demikian halnya dengan jiwa
ruhani atau jiwa manusiawi. Ia tak terpilahkan dan dengannya manusia mengenali
Allah. Boleh dikatakan dialah pengendara jwa hewani. Dan ketika jiwa hewani musnah, ia tetap tinggal, tetapi
laksana seorang penunggang kuda yang
telah turun atau seperti seorang pemburu yan gtelah kehilangan senjatanya.
Kuda dan senjata-senjata itu dianugerahkan pada jiwa manusia agar dengan itu semua ia bisa mengejar dan
menangkap keabadian cinta dan pengetahuan
tantang Allah. Jika ia telah berhasil melakukan penangkapan itu, maka
bukannya berkeluh kesah,
ia pun merasa
lega ketika bisa menyingkirkan
senjata-senjata itu. Oleh karena itu Rasulullah saw. bersabda, "Kematian adalah suatu hadiah Tuhan yang
diharap-harapkan oleh para mukminin."
Tapi celakalah kalau jiwa itu kehilangan kuda dan senjata-senjata pemburuannya sebelum berhasil memperoleh hadiah
tersebut. Kesedihan dan
penyesalannya akan tak terperikan.
Pembahasan yang agak lebih jauh akan
menunjukkan betapa bedanya jiwa manusia
dari jasad dan anggota-anggotanya. Setiap anggota tubuh bisa rusak
dan berhenti bekerja, tapi individualitas jiwa tak terganggu. Lebih jauh lagi, jasad yang anda miliki sekarang tidak lagi
berupa jasad sebagaimana yang anda
miliki pada waktu kecil, melainkan sudah berbeda sama sekali. Meskipun demikian, kepribadian anda sekarang ini
sama dengan pada waktu itu. Karena itu, sangat mudahlah untuk membayangkannya
sebagai terus ada bersama-sama sifat-sifat esensialnya yang tak tergantung pada
tubuh, seperti pengetahuan dan cinta
akan Tuhan. Inilah arti ayat al-Qur'an, "hal-hal yang baik itu
abadi." Tetapi, jika
sebaliknya daripada membawa
pengetahuan bersama anda, anda malah
menyeleweng dalam kejahilan tentang Allah. Kejahilan ini juga merupakan suatu sifat esensial dan akan tinggal abadi bagai
kegelapan jiwa dan
benih kesedihan. Oleh
karena itu, al-Qur'an berkata, "Orang yang buta di dalam hidup ini akan buta di akhirat
dan tersesat dari jalan yang
lurus."
Alasan bagi kembalinya ruh manusia yang sedang kita bicarakan ini
merujuk ke dunia yang lebih tinggi adalah
bahwa ia berasal dari sana dan bahwa ia bersifat malaikat. Ia dikirim ke ruang yang lebih rendah ini berlawanan
dengan kehendaknya demi memperoleh
pengetahuan dan pengalaman, sebagaimana Allah berfirman di dalam
al-Qur'an, "Turunlah dari sini kamu semuanya, akan datang padamu perintah-perintah dari-Ku dan siapa yang menaatinya tidak
perlu takut dan tak perlu pula mereka gelisah." Ayat: "Aku tiupkan ke
dalam diri manusia
ruh-Ku" juga menunjukkan
asal samawi jiwa
manusia. Sebagaimana kesehatan
jiwa hewani adalah
berupa kesimbangan dari bagian-bagian
penyusunannya, dan keseimbangan ini bisa dipulihkan jika mengalami
gangguan, oleh obat-obat
yang sehat, demikian
pulalah kesehatan jiwa
manusia berbentuk suatu
keseimbangan moral yang dipelihara dan diperbaiki, jika
dibutuhkan, oleh perintah-perintah etis
dan ajaran-ajaran moral.
Berkenaan dengan kemaujudan dunia di masa yang
akan datang, telah kita lihat bahwa jiwa manusia secara esensial tak tergantung pada
tubuh. Semua keberatan terhadap
kemaujudannya setelah kematian,
didasarkan pada dugaan adanya keperluan akan pemulihan jasad
terdahulunya yang telah jatuh ke tanah.
Beberapa ahli kalam menduga bahwa jiwa manusia tak termusnahkan
setelah mati, malah terpulihkan. Tetapi hal ini sesungguhnya bertentangan baik dengan nalar maupun al-Qur'an.
Yang disebut terdahulu menunjukkan pada kita bahwa kematian tidak
menghancurkan individualitas esensial seorang manusia dan al-Qur'an berkata,
"Jangan kamu pikir orang-orang yang
terbunuh du jalan Allah itu telah mati. Tidak! Mereka masih hidup, bergembira
dengan kehadiran Tuhan mereka dan di dalam limpahan karunia atas mereka."
Tidak satukata pun disebutkan di dalam syariah tentang orang-orang mati, yang baik maupun jahat, sebagai
termusnahkan. Malah, Nabi saw.
diriwayatkan telah bertanya
kepada arwah orang-orang
kafir yang terbunuh
tentang apakah mereka
mendapati hukuman-hukuman yang diancamkan
kepada mereka sesuatu yang benar atau tidak. Ketika para pengikutnya bertanya kepadanya apa gunanya bertanya
kepada mereka, beliau menjawab:
"Mereka bisa mendengar kata-kataku lebih baik daripada engkau."
Beberapa orang sufi telah dapat menampak
dunia dan neraka yang tak kasat mata,
diungkapkan kepada mereka pada saat-saat mereka berada dalam keadan
kerasukan (trance) seperti
mati. Pada saat
pulihnya kesadaran, muka-muka mereka menggambarkan sifat
ungkapan-ungkapan yang telah mereka
terima dengan tanda-tanda kegembiraan yang luar biasa ataupun kepanikan. Tapi tidak perlu lagi visi untuk
membuktikan kepada manusia-manusia yang berpikir apa-apa yang akan
terjadi. Yaitu ketika kematian telah mencabut
indera-inderanya dan meninggalkannya tanpa sesuatu apa pun kecuali kepribadian telanjangnya, jika ketika
di atas bumi ia terlalu asyik menyibukkan dirinya dengan benda-benda cerapan
indera seperti isteri, anak, kekayaan,
tanah, budak laki-laki dan perempuan dan sebagainya ia akan menderita ketika
kehilangan benda-benda ini. Sebaliknya, jika ia telah membalikkan punggung sejauh-jauhnya dari semua
benda-benda duniawi dan meneguhkan kasih sayangnya yang amat besar
terhadap Allah, ia akan menyambut kematian
sebagai suatu sarana
untuk melarikan diri
dari kerepotan-kerepotan duniawi
dan bergabung dengan Ia yang dicintainya. Dalam kasus ini, sabda Rasul akan akan terbukti: "Kematian adalah
jembatan yang menyatukan sahabat dengan sahabat"; "dunia ini surga
bagi orang kafir, dan penjara bagi
orang-orang mukmin."
Di pihak lain, semua derita yang ditanggung
oleh jiwa setelah mati bersumber pada cinta yang berlebih-lebihan terhadap
dunia. Rasulullah bersabda bahwa semua
oran gkafir setelah mati akan disiksa oleh 99 ular, masing-masing memiliki 9 kepala.
Beberapa orang yang
berpikiran sederhana telah memeriksa kuburan
orang-orang kafir ini
dan bertanya-tanya mengapa mereka tak bisa melihat
ular-ular ini. Mereka tidak paham bahwa ular-ular ini bersemayam di dalam ruh orang-orang kafir itu dan bahwa kesemuanya itu sudah ada di dlam diri orang-orang kafir tersebut,
bahkan sebelum ia mati. Karena
semuanya itu sesungguhnya adalah simbol-simbol sifat jahatnya, seperti
cemburu, kebencian, kemunafikan, kesombongan, kelicikan dan lain sebagainya. Sifat-sifat itu semuanya bersumber, secara
langsung maupun tidak, pada kecintaan terhadap dunia ini. Itulah neraka
yang disediakan bagi orang-orang yang di dlam
al-Qur'an dikatakan "meneguhkan hati mereka pada dunia ini lebih daripada
akhirat". Jika ular-ular
itu sekadar bersifat eksternal belaka, mereka
akan bisa berharap
untuk melarikan diri
dari siksanya, meskipun hanya untuk sesaat saja. Tetapi jika
semuanya itu sudah menjadi sifat-sifat bawaan
mereka, bagaimana mereka bisa melarikan diri?. Ambillah contoh kasus seseorang yang menjual seorang budak perempuan tanpa
tahu seberapa jauh
ia telah terikat
dengannya sampai ketika perempuan itu telah sama sekali berada di luar jangkauannya. Kemudian kecintaan pada budak itu, yang selama ini tertidur,
bangun di dalam dirinya dengan suatu
intensitas yang menyiksanya, menyengatnya seperti ular. Ia bisa gila
karenanya, mencapakkan dirinya
ke dalam api
atau air untuk melarikan
diri darinya. Inilah akibat cinta terhadap dunia, yang tidak pernah terbayang
dalam diri orang-orang yang
memilikinya sampai ketika dunia direnggut dari mereka dan kemudian siksaan kesia-siaan membuat mereka mau dengan senang hati menukarnya dengan sekadar
ular-ular dan kepiting-kepiting
eksternal belaka, berapa pun jumlahnya. Karenanya, setiap orang yang berbuat dosa membawa perkakas-perkakas
hukumannya sendiri ke dunia di balik
kematian. Benar kata al-Qur'an: "Sesungguhnya kalian akan melihat neraka.
Kalian akan melihatnya
dengan mata keyakinan (ainulyaqin)", dan
"neraka mengitari orang-orang
kafir." Ia tidak
berkata akan mengitari mereka, karena neraka sudah mengitari
mereka sekarang juga.
Mungkin ada orang yang berkeberatan. Jika
demikian halnya, kemudian siapakah yang bisa
menghindar dari neraka, karena siapakah orang yang sedikit banyak tidak terikat pada dunia dengan berbagai
ikatan kesenangan dan kepentingan. Atas pertanyaan ini kita
menjawab bahwa ada orang-orang, terutama para faqir, yang telah sama sekali
melepaskan diri mereka dari cinta terhadap dunia.
Tetapi bahkan di
antara orang-orang yang
memiliki kekayaan-kekayaan duniawi - seperti isteri, anak, rumah dan lain
sebagainya- masih ada juga orang-orang yang,
meskipun mereka memiliki kecintaan terhadap benda-benda
ini, mencintai Allah
lebih dari segalanya.
Kasus mereka adalah seperti
seseorang yang, meskipun mempunyai sebuah tempat tinggal yan gia
cintai di suatu
kota, ketika diminta
oleh sang raja
untuk mengisi suatu pos
kekuasaan di kota lain, ia melakukannya dengan senang hati, karena
pos kekuasaan itu
lebih berharga baginya
daripada tempat tinggalnya terdahulu. Para nabi dan banyak di
antara para wali adalah orang-orang
seperti itu.
Dalam jumlah besar, ada pula orang-orang
lain yang memiliki kecintaan pada Allah,
tetapi kecintaannya terhadap dunia ini demikian berlebihan dalam diri mereka
sehingga mereka akan harus menderita siksaan yang cukup besar setelah kematian sebelum mereka sama sekali terbebaskan
daripadanya. Banyak yang memiliki kecintaan kepada Allah, tapi seseorang bisa
dengan mudah menguji dirinya dengan
melihat ke mana
cenderungnya lengan timbangan cintanya ketika perintah-perintah Allah datang
berbenturan dengan beberapa keinginannya. Pemilikan akan cinta kepada Allah yang
tidak cukup menahan seseorang
dari pembangkangan kepada
Allah adalah suatu kebohongan.
Telah kita lihat di atas bahwa salah satu
jenis neraka ruhani itu berbentuk pemisahan secara paksa dari benda-benda
duniawi yang kepadanya hati terikat terlalu erat. Banyak orang yang
tanpa sadar membawa dalam dirinya kuman-kuman
neraka seperti itu. Mereka akan merasa seperti seorang raja yang setelah
menjalani hidup mewah, dicampakkan dari singgasananya dan menjadi bahan tertawaan.
Jenis kedua neraka ruhani adalah malu, yaitu ketika seseorang dibangunkan
untuk melihat sifat tindakan-tindakan yang
dulu dilakukannya dalam hakikat telanjangnya.
Orang yang mengumpat akan melihat dirinya dalam bentuk seorang kanibal yang makan daging saudaranya yang
telah mati. Orang yang mempunyai sifat iri hati akan tampak sebagai
seseorang yang melemparkan batu-batu ke
dinding, kemudian batu-batu
itu memantul kembali
dan mengenai mata anaknya
sendiri.
Neraka jenis ini, yaitu malu, bisa disimpulkan dengan perumpamaan
ringkas berikut ini. Misalkan seorang raja
baru selesai merayakan perkawinan anak laki-lakinya. Pada
malam harinya, laki-laki muda itu
pergi keluar dengan beberapa
orang sahabat dan kemudian kembali ke istana dalam keadaan mabuk. Ia
memasuki sebuah kamar yang terang dan kemudian berbaring di samping tubuh yang
diduganya sebagai mempelai wanitanya. Pagi harinya, ketika kesadarannya pulih, ia terperanjat ketika mendapati dirinya berada
di dalam sebuah kamar mayat para
penyembah-api. Sofanya adalah tandu jenazah, dan
bentuk yang disalah-mengertikannya sebagai
mempelai perempuannya adalah mayat seorang wanita tua yang mulai
membusuk. Ketika keluar dari kamar
mayat dengan pakaian kumuh, betapa malunya ia ketika ayahnya, sang raja, menghampirinya dengan serombongan tentara.
Itu gambaran perumpamaan tentang rasa
malu yang akan dirasakan di akhirat oleh
orang-orang yang dengan serakah telah memasrahkan diri mereka pada hal-hal yang mereka anggap sebagai kebahagiaan.
Neraka
ruhaniah ketiga berbentuk
kekecewaan dan kegagalan
untuk mencapai
obyek kemaujudan yang
sesungguhnya. Manusia diciptakan dengan maksud untuk mencermini
cahaya pengetahuan akan Tuhan. Tapi jika ia
sampai di akhirat
dengan jiwa yang
tersaput tebal oleh
karat pengumbaran nafsu inderawi, ia akan sama sekali gagal untuk
memperoleh tujuan penciptaannya. Kekecewaannya
bisa digambarkan dengan
cara berikut. Misalkan
seseorang sedang melewati sebuah hutan gelap bersama beberapa orang sahabat. Di sana-sini
berkelap-kelip di atas tanah, bertebaran batu-batu berwarna. Para sahabatnya mengumpulkan dan membawa benda-benda itu seraya menasehatinya agar ia turut
melakukan hal yang sama. "Karena,"
kata mereka, "kami dengar batu-batu itu akan memperoleh harga tinggi
di tempat yang akan kita datangi." Tapi orang ini malah menertawakan mereka
dan menyebut mereka
sebagai orang-orang pandir
karena menyimpan harapan
sia-sia untuk memperoleh sesuatu, sementara ia sendiri bisa berjalan
bebas tak berbebani. Kemudian mereka pun menjelang terang tanah dan mendapati bahwa batu-batu yang
berwarna-warni itu ternyata batu-batu
delima, Zamrud dan permata-permata lain yang tak terkira harganya. Kekecewaan
dan penyesalan orang itu, karena tidak mengumpulkan benda-benda yang sudah berada dalam jangkauannya itu,
lebih mudah dibayangkan daripada diperikan. Seperti itulah jadinya penyesalan
orang-orang yang ketika melalui duni aini tidak berusaha memperoleh
permata-permata kebajikan dan perbendaharaan-perbendaharaan
agama.
Perjalanan manusia di dunia ini bisa
dikelompokkan dalam empat tahap yang inderawi, eksperimental, instingtif
dan rasional. Dalam
tahap yang pertama ia seperti seekor rayap yang, meskipun
memiliki penglihatan, tak punya kemampuan
mengingat dan akan
menghapuskan dirinya terus-
menerus pada lilin yang sama. Tahap kedua, ia seperti seekor anjing yang, setelah sekali digigit, akan lari ketika melihat sebatang rotan pemukul. Pada tahap ketiga, ia seperti seekor kuda atau domba yang, secara instingtif, terbang seketika tatkala melihat seekor macan atau srigala - musuh-musuh alaminya - sementara mereka tak akan lari jika melihat seekor onta atau kerbau, meskipun kedua binatang ini lebih besar ukurannya. Di dalam tahap yang keempat manusia sama sekali mengatasi batas-batas binatang itu sehingga mampu, sampai batas tertentu, meramalkan dan mempersiapkan diri bagi masa depan. Gerakan-gerakannya pada mulanya bisa dibandingkan dengan berjalan biasa di atas tanah, kemudian menyeberangi laut dengan sebuah kapal, kemudian pada pendaratan keempat - ketika ia sudah akrab dengan hakikat-hakikat - berjalan di atas air. Sementara itu, di balik dataran ini masih ada dataran kelima yang dikenal oleh para nabi dan wali yang bisa dibandingkan dengan terbang mengarungi udara.
menerus pada lilin yang sama. Tahap kedua, ia seperti seekor anjing yang, setelah sekali digigit, akan lari ketika melihat sebatang rotan pemukul. Pada tahap ketiga, ia seperti seekor kuda atau domba yang, secara instingtif, terbang seketika tatkala melihat seekor macan atau srigala - musuh-musuh alaminya - sementara mereka tak akan lari jika melihat seekor onta atau kerbau, meskipun kedua binatang ini lebih besar ukurannya. Di dalam tahap yang keempat manusia sama sekali mengatasi batas-batas binatang itu sehingga mampu, sampai batas tertentu, meramalkan dan mempersiapkan diri bagi masa depan. Gerakan-gerakannya pada mulanya bisa dibandingkan dengan berjalan biasa di atas tanah, kemudian menyeberangi laut dengan sebuah kapal, kemudian pada pendaratan keempat - ketika ia sudah akrab dengan hakikat-hakikat - berjalan di atas air. Sementara itu, di balik dataran ini masih ada dataran kelima yang dikenal oleh para nabi dan wali yang bisa dibandingkan dengan terbang mengarungi udara.
Jadi manusia punya kemampuan untuk dada pada
berbagai dataran yang berbeda, mulai dari dataran hewaniah sampai
dataran malaikat. Dan persis dalam hal inilah terletak bahayanya,
yaitu dari kemungkinan jatuh ke dataran yang paling rendah. Di dalam al-Qur'an
tertulis, "Telah Kami tawarkan (yaitu tanggung jawab atau
kehendak bebas) kepada lelangit dan
bumi serta gunung-gunung; mereka
menolak untuk menanggungnya. Tetapi manusia mau mananggungnya. Sesungguhnya manusia itu bodoh." Tidak hewan
tidak pula malaikat bisa
mengubah tingkat dan tempat ia
ditempatkan. Tetapi seseorang bisa
tenggelamke dataran hewaniah atau terbang ke dataran malaikat, dan inilah arti dari "penanggungan
beban" sebagaimana disebutkan di atas oleh al-Qur'an. Sebagian
besar manusia memilih untuk berada di dua tahap
terndah tersebut di
atas, dan yang
tetap tinggal biasanya
selalu bersikap bermusuhan
dengan orang yang bepergian atau
musafir yang jumlahnya jauh lebih sedikit.
Banyak orang
dari kelas yang
disebut terdahulu, karena
tidak memiliki keyakinan
yang teguh tentang dunia yang akan datang, ketika dikuasai oleh nafsu-nafsu
inderawi, menolaknya sama
sekali. Mereka berkata
bahwa neraka adalah suatu
temuan para ahli ilmu kalam belaka untuk menakut-
nakuti orang. Mereka memandang para ahli ilmu kalam dengan penghinaan terbuka. Berbdebat dengan orang-orang seperti ini sedikit sekali manfaatnya. Meskipun demikian, ada yang bisa dikatakan pada orang yang seperti ini yang mungkin bisa membuatnya berhenti dan merenung. "Benarkah anda sungguh-sungguh berpikir bahwa 124.000 nabi dan wali yang percaya pada kehidupan masa akan datang semuanya salah dan anda, yang menolaknya, benar?" Jika ia menjawab, "Ya," saya sedemikian yakin - sebagaimana saya yakin bahwa dua lebih besar daripada satu - bahwasanya jiwa dan kehidupan masa depan dalam bentuk kebahagiaan maupun hukuman itu tidak ada, maka manusia seperti itu sudah tidak mempunyai harapan lagi. Yang bisa diperbuat hanyalah meninggalkannya sendiri sembari mengingat kata-kata al-
Qur'an, "Meskipun kau peringatkan mereka, mereka tak akan ingat."
nakuti orang. Mereka memandang para ahli ilmu kalam dengan penghinaan terbuka. Berbdebat dengan orang-orang seperti ini sedikit sekali manfaatnya. Meskipun demikian, ada yang bisa dikatakan pada orang yang seperti ini yang mungkin bisa membuatnya berhenti dan merenung. "Benarkah anda sungguh-sungguh berpikir bahwa 124.000 nabi dan wali yang percaya pada kehidupan masa akan datang semuanya salah dan anda, yang menolaknya, benar?" Jika ia menjawab, "Ya," saya sedemikian yakin - sebagaimana saya yakin bahwa dua lebih besar daripada satu - bahwasanya jiwa dan kehidupan masa depan dalam bentuk kebahagiaan maupun hukuman itu tidak ada, maka manusia seperti itu sudah tidak mempunyai harapan lagi. Yang bisa diperbuat hanyalah meninggalkannya sendiri sembari mengingat kata-kata al-
Qur'an, "Meskipun kau peringatkan mereka, mereka tak akan ingat."
Tetapi
jika ia berkata
bahwa kehidupan masa
depan adalah suatu kebolehjadian,
hanya bahwa doktrin itu penuh mengandung keraguan dan misteri, sehingga tidak mungkin untuk bisa memutuskan
benarkah hal itu atau tidak, maka seseorang bisa berkata kepadanya,
"Jika demikian, sebaiknya anda selesaikan baik-baik keraguan
itu." Misalkan anda sedang akan makan makanan,
kemudian seseorang berkata kepada anda bahwa seekor ular telah meludahkan bisa
ke dalamnya, maka mungkin sekali anda akan menahan diri dan
lebih baik menahan
kepedihan rasa lapar
daripada memakannya, meskipun orang yang memberi informasi pada anda
mungkin hanya bercanda atau berbohong belaka. Atau misalkan
anda sedang sakit dan
seorang penulis syair berkata, "Beri saya satu dirham dan
saya akan menulis sebuah puisi yang bisa
kauikatkan di lehermu, yang akan menyembuhkannya dari sakit."
Anda boleh jadi akan memberikan dirham yang dimintanya dengan harapan bisa mendapatkan manfaat jimat itu. Atau
jika seoran gperamal berkata,
"Pada saat bulan telah sampai ke suatu bentuk tertentu, minumlah obat ini dan itu dan engkau pun akan sembuh."
Meskipun mungkin anda sedikir sekali
percaya pada astrologi,
kemungkinan besar anda
akan mencoba juga pengalaman
itu dengan harapan bahwa orang itu benar. Tidakkah anda berpikir bahwa
kebenaran yang bisa dipercaya juga terdapat dalam
kata-kata nabi, para wali dan orang-orang suci, yang menyakinkan orang
akan adanya kehidupan
mendatang, sebagaimana janji
seorang penulis jampi-jampi
atau seorang peramal.
Orang berani melakukan perjalanan lewat laut yan
gpenuh resiko demi mengharap suatu keuntungan, maka tidak maukah anda menanggung sedikir penderitaan di masa sekarang demi kebahagiaan abadi di akhirat?
Sayyidina Ali Zainal
Abidin (Putra Hesain
bin Ali bin
Abi Thalib, cucu Rasulullah SAW) ketika berdebat
dengan seorang kafir pernah berkata, "Jika anda benar, maka tidak seoran gpun di antara kita yang akan menderita keadaan
yang lebih buruk di masa depan. Tetapi jika kami yang benar, maka kami akan terhindar dan anda akan menderita."
Hal ini dikatakannya bukan karena ia
sendiri berada dalam keraguan, tetapi hanya demi menciptakan suatu kesan
bagi orang kafir itu. Berdasar semua pembahasan di atas, dapat
disimpulkan bahwa urusan utama manusia di dunia ini adalah untuk mempersiapkan diri bagi dunia yang akan datang. Sekalipun jika ia ragu-ragu tentang kemaujudan masa depan, nalar mengajarkan bahwa ia harus bertindak seakan-akan hal itu ada dengan mempertimbangkan akibat luar biasa yang mungkin terjadi. Keselamatan atas orang-orang yang mengikuti ajaran-ajaran Allah.
disimpulkan bahwa urusan utama manusia di dunia ini adalah untuk mempersiapkan diri bagi dunia yang akan datang. Sekalipun jika ia ragu-ragu tentang kemaujudan masa depan, nalar mengajarkan bahwa ia harus bertindak seakan-akan hal itu ada dengan mempertimbangkan akibat luar biasa yang mungkin terjadi. Keselamatan atas orang-orang yang mengikuti ajaran-ajaran Allah.
Komentar
Posting Komentar